Sore hari di tahun 1997 bulan Januari sebelum aku kuliah ke Perth, hujan
rintik-rintik menemani perjalananku ke rumahku sepulang dari tempat les
bahasa Inggris di LIA, saat itulah kulihat gadis tinggi semampai
berjalan di sampingku. Wow.. tiba-tiba hatiku berdetak kuat, gadis ini
cantik sekali dengan tinggi semampai, memakai baju hitam ketat dengan
celana putih kordoroi, serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut
sepundak kemerahan dengan wajah lonjong manis sekali, dibubuhi mata
sipit seperti artis China yang sering kulihat di TV. “Aku harus
kenalan!” berontak kata hatiku. Jalannya cepat tanpa melihat ke kanan ke
kiri. Wah.. berani tidak ya, hatiku bertanya-tanya. Okelah PD saja.
“Hai”, sapaku dengan suara bergetar.
“Baru pulang kuliah ya?” sambil kulihat buku yang dibawanya.
“Iyaa..” responnya.
Wah.. gayung bersambut nih, langsung saja kenalan. Sejak saat itulah aku
dekat dengan Fei. Gadis yang ternyata satu kompleks perumahan denganku
di daerah Jakarta Pusat. Ternyata ia baru di kompleksku dan tinggal
bersama pamannya. Pamannya adalah penjual barang elektronik di daerah
Glodok. Sebelum ke Jakarta, ia tinggal bersama orang tuanya di Medan,
lulus SMA ia melanjutkan pendidikan di FE salah satu perguruan tinggi
swasta di Jakarta Barat.
Singkat cerita kami pun pacaran. Terus terang, aku orangnya tidak kuat
melihat Fei. Yang paling aku sukai dari bagian tubuhnya, adalah kakinya
yang panjang (1 meter 5 senti) dan yang yang paling membuatku sukai lagi
adalah betisnya yang putih mulus dengan bentuk yang pas, tak terlalu
gemuk dan tak terlalu kecil, seksi sekali. Fei tinggal bersama pamannya
dan ke-3 sepupunya yang semuanya perempuan yang masih bersekolah antara
SD - SMP, beserta seorang pembantu.
Pengalaman seks-ku dengannya berjalan secara bertahap. Setelah beberapa
lama pacaran aku cuma bisa mencium pipinya. Seminggu kemudian bibirnya,
lama setelah itu ketika kami berdua nonton di bioskop Lippo Karawaci aku
ingat filmnya Star Wars, ia memakai baju hem sutra warna krem dengan
rok selutut warna coklat, yang menampakkan bentuk kakinya yang sempurna
itu. Baju sutranya begitu lembut hingga mengikuti lekukan dadanya
terkadang dari sela-sela antar kancing terlihat belahan dada yang putih
mulus, walaupun tidak terlalu besar membuat pikiranku melayang
kemana-mana hingga di dalam lampu mulai padam kulihat penontonnya hanya 5
orang, itu pun berada di depan semua. Melihat wajahnya di kegelapan
bioskop, aku tidak bisa konsentrasi menonton film. 5 menit.. 10 menit..
15 menit.. pertama kuelus tangannya, kucium-cium tangannya yang lembut
itu. Akhirnya kusentuh pipinya dan mulai kucium bibirnya. Mmh..
mengingat buah dadanya tadi birahiku bergejolak, tanganku mulai
mengelus-elus pipinya kemudian turun. Kuelus-elus buah dadanya yang
membuatku tak bisa tenang.
Sementara bibirnya kulumat dalam-dalam, kurasakan dengan mata terpejam
kenikmatan bibirnya itu, mulai lidah kami berpaut saat itu juga. Tiga
kancing paling atas bajunya kubuka, tanganku pun mulai masuk ke dalam
BH-nya. Wow.. kenyal dan kencang dengan puting susunya yang kenyal. Aku
mulai memperdalam ciumanku, lidahku mulai kumainkan seiring dengan
permainan jari-jariku di puting susunya. Ia mulai mendesah dengan nafas
tak teratur, “Mmh.. mmhh.. mmhh..” suara itu membuatku semakin bernafsu.
Kuvariasikan gerakan tanganku dengan meremas buah dadanya. “Mmmhh..
mhh.. sshh..” suara itu membuat batang kemaluanku semakin berdiri
tegang. Saking tegangnya sehingga membuat batang kemaluanku sakit.
Sambil kuperbaiki posisi dudukku, kusorongkan penutup BH-nya ke depan
sehingga payudaranya menonjol. Kuarahkan mulutku ke puting buah dada
Fei, kuhisap-hisap putingnya sambil sesekali kumainkan lidahku. “Mmhh..
mhh..” Fei merasa geli-geli enak. Kuangkat BH-nya ke atas agar tanganku
terbebas dari memegangi BH-nya. Buah dada yang telah mengencang itu
mancung ke depan menantang untuk kuhisap.
Sementara aku mulai menghisap buah dadanya, tanganku mulai memegang
pahanya yang dingin karena udara AC bioskop tetapi makin ke dalam
semakin terasa hangat. Dengan agak susah tanganku berusaha merayap ke
sumber kehangatan itu. Wah.. masih sulit tanganku menjangkaunya,
tampaknya Fei tahu akan hal itu. Dia mulai membuka pahanya dan tanganku
pun mulai dapat merayap ke atas. Kusentuh selangkangannya yang berbalut
CD. “Hmm hangat..” aku ingin merasakan dalamnya.
Dari tepi CD-nya jariku masuk ke liang kemaluannya yang ditumbuhi rambut
itu terasa hangat dan lembut dengan lipatan-lipatan dan
gumpalan-gumpalan. Tanganku mulai beraksi di tengah antara kedua lipatan
itu, naik turun.. naik turun.. Fei mulai menggelinjang. Tidak berapa
lama ia melepaskan tautan bibirnya di bibirku. Mulutnya terbuka,
“Aaahh.. ahh.. terus Rie.. ahh.. ahh.. ahh.. teruus.. aah..” pada saat
itulah kurasakan sesuatu terjadi pada tubuhku. Aku merasa batang
kemaluanku menegang sekali. Nafsuku meletup-letup, otot-ototku mengejang
dan.. “Aahhk.. aahhkk..” dan, “Crott.. croott..” kemaluanku pun muntah
di dalam celana. Uhh.. enak sekali rasanya, segar.
Sementara tanganku terus bergerak. “Aaahh.. teruuss..” desah Fei sambil
mulai menggerak-gerakkan pinggulnya, “Aaahkk.. terus..” sampai akhirnya
badannya menegang dan ia menahan nafasnya beberapa saat, “Mhh.. ahh..”
dilepaskan nafasnya, kemudian ia menjauhkan tanganku dari liang
kemaluannya.
“Kenapa..?” tanyaku berbisik.
“Enaak lhoo.. tapi badan jadi lemes nih..” bisiknya.
“Ya udah.. kasian filmnya tuh tidak ditonton..” kataku.
Kurasakan bagian celanaku yang basah terkena air maniku. Untung cuma bagian pinggang, jadi bisa kututup dengan baju, aman.
Malamnya ia menelepon, menceritakan bagaimana rasanya dari pengalaman
yang baru kami alami berdua di bioskop tadi. Sebelum kami menyudahi
telepon, ia berkata, “Rie.. besok kalau tidak ada rencana.. datang ke
rumahku dong.. selama aku libur, si Siti (pembantunya) mau pulang
kampung.. bantuin aku mengurusi rumah yaa!”
“Oke!” jawabku singkat sambil membayangkan skenario untuk besok.
Esoknya aku pun datang jam 10-an. Setelah paman Fei pergi, sebab paman
Fei tidak mau Fei pacaran denganku. Dia mau Fei pacaran sama laki-laki
keturunan Tionghoa seperti semua keluarganya. Jadi ceritanya aku dan Fei
backstreet-lah. Ketika aku datang, Fei masih memakai daster pink,
tingginya di atas lutut. Ups, kemaluanku naik tinggi sekali, tampak
sebagian pahanya yang mulus sekali, kakinya yang panjang putih bersih
(tidak ada noda totol-totol sama sekali) dan betisnya yang aduhai.
Kuperhatikan terus Fei dari atas ke bawah. Hei.. tepat di bagian dadanya
ada yang menonjol sebesar kacang. Ups.. jangan-jangan dia tidak memakai
bra nih. Aduh kemaluanku makin membludak ingin keluar dari sarangnya.
“Arie.. kamu sudah sarapan?” tanyanya.
“Udah.. udah..” jawabku dengan suara bergetar yang kupaksakan keluar.
“Hei.. kenapa.. kamu sakit?” tanyanya lagi.
“Enggak kok.. biasa, suara orang bangun pagi”, kataku.
“Kamu bantuin aku nyapu ya.. entar habis kamu nyapu.. aku ngepel..” katanya.
“Oke”, kataku.
Huuh.. menyapu, memikirkan menyapu kemaluanku jadi ciut lagi. Aku pun
mulai menyapu, sedangkan Fei mencuci piring bekas sarapan. Selesai
menyapu, aku membantu dia mengangkat ember untuk mengepel ke ruang
depan. Dengan menggunakan gagang pel ia mulai mengepel lantai ruang
depan, sementara aku memperhatikan kaki-kaki yang jenjang itu bagaikan
menari-nari bersama tongkat pel. Kuperhatikan betis yang selama ini
kupuja-puja itu, putih.. mulus, ingin aku menciumnya habis-habisan.
Tiba-tiba klotak! Entah karena apa, tongkat pel itu terjatuh ke lantai.
“Aduhh..” Fei terkejut.
“Kenapa?” tanyaku. Fei hanya tersenyum dan kemudian dengan
membelakangiku, ia menungging mengambil tongkat pel itu. Walah, daster
yang tingginya sepaha itu bagian belakangnya terangkat ke atas. Tampak
seluruh pahanya yang putih halus mulus itu dan yang membuat celanaku
tiba-tiba sesak tampak selangkangan yang dibalut CD warna biru langit
itu.
Langsung aku meloncat ke arahnya. Kuelus dan kuciumi pahanya yang halus
mulus itu. Begitu lembut, mmh. Fei masih dengan posisi menungging,
kusibak dasternya sehingga tampak seluruh celana dalamnya, langsung
dengan nafas memburu, kutarik celana itu ke bawah dan kujilati dan
kucium pantat yang putih montok menantang itu di selangkangannya. Tampak
bibir vertikal liang kemaluan Fei yang hitam tanpa bulu rambut?
(padahal tadi malam masih ada loh bulunya). Kuusap dengan lembut bibir
yang menggoda itu, lembut dan penuh kehangatan. Bibir tersebut
bergerak-gerak seolah-olah berkata, “Ayo.. cium aku.. isep aku.. jilat
aku..” Langsung kuarahkan bibirku ke kemaluannya. Aroma kemaluannya yang
khas menggodaku untuk mencium kemaluan Fei yang sejak tadi menungguku.
Kumainkan lidahku di tengah-tengah bibir kemaluannya. “Ssrrpp.. ssrrp..
ssrrpp..” kurasakan badan Fei bergetar keenakan. kuremas pahanya yang
montok itu sambil terus kumainkan lidahku, “Aahh.. ahh..” erang Fei.
Tiba-tiba Fei berdiri, diciumnya bibirku yang basah dengan ganas seperti
orang yang sudah berbulan-bulan tidak dapat jatah. “Mmhh.. Mmmhh..”
dimain-mainkannya lidahnya di dalam mulutku, enak sekali. Kemudian
dengan sigap tangannya mulai melepaskan celanaku dan menyelipkan
tangannya di CD-ku, “Ihh.. gede amat..!” kejutnya sambil
digosok-gosokkan tangannya di batang kemaluanku yang sudah sejak tadi
membengkak. “Uuhh.. enak..” diturunkannya CD-ku dan dikocoknya terus
batang kemaluanku. Saking enaknya sampai seluruh otot tubuhku mengejang,
“Teruss.. teruss”, kulepaskan tautan bibirnya, “Aahh.. ahh.. Feii..
terus Feii..” kataku sudah tidak tahan lagi. “Aahh.. aah..” dan tak lama
kemudian, “Croot.. croot.. croot..” akhirnya kemaluanku mengeluarkan
air mani, diarahkan kemaluanku menjauh dari tubuhnya. Air maniku
berceceran di lantai. “Aaah.. enaknya.”
Kemudian kuangkat dasternya, tampaklah tubuhnya yang sudah telanjang
bulat. Ampun deh bodinya, sudah putih, mulus, bagus, langsing, tinggi,
pokoknya seperti wanita model. Batang kemaluanku pun berdiri lagi
sedikit demi sedikit. Aku pun melepas segala yang melekat di tubuhku.
Tubuhnya kujatuhkan ke sofa kemudian kaki Fei kukangkangi dan aku
menimpa tubuh yang empuk itu. “Gimana memekku? Tadi pagi aku cukur lho..
khusus buat kamu..” kata Fei. “Huuii.. Fei gadisku.. I love you..”
mulai lagi kucium bibirnya dengan gemas. Mmmhh, tangan Fei menjalar ke
bawah meremas-remas batang kejantananku. Kemudian menempelkannya ke
bibir kemaluannya yang telah basah itu. Badanku pun kuangkat sedikit
dengan siku kiriku sementara tangan kananku mulai mengobok-obok buah
dadanya, begitu lembut dan kenyal. Kumainkan putingnya sekali-sekali.
Mmmhh.. sementara itu lidah kami pun tak bisa diam merasakan keenakan
ini, saling menjilati. Kemudian kuarahkan kepalaku ke buah dadanya.
Kuciumi buah dadanya, kujilati, kumainkan putingnya dengan lidahku dan
kusedot-sedot dengan sesekali kugigit-gigit kecil dengan gemas.
Sementara jari telunjukku dan tengah mulai beraksi di liang kemaluannya.
Kuusap-usap bibir kemaluannya yang telah licin dengan cairan
kewanitaannya.
Tak lama, segera aku bangun dan aku tidur di lantai. Kusuruh ia
menindihku dengan kepalanya mengarah ke batang kemaluanku dan dengan
kaki mengangkang, dan mengarahkan lubang kemaluannya yang telah memerah
ke wajahku. “Hmm.. srruupp.. sruupp..” aku mulai menjilat klitorisnya.
Kujulurkan lidahku memainkan daerah sekitar klitorisnya, kujilat
klitorisnya ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah. Fei menggelinjang
keenakan, pantatnya pun bergerak mencari spot-spot yang enak. Ia
ternyata jago menghisap batang kemaluanku.
Sambil menghisap, sesekali dimain-mainkan lidahnya seperti anak kecil
memainkan es krim. Kuvariasikan jilatan pada klitorisnya dengan sedotan.
Kemudian bibir-bibir kiri dan kanannya yang hitam itu, kutarik-tarik
daging lebih yang nikmat itu dengan sedotan bibirku. “Sruup.. srupp..”
Pinggul Fei bergerak-gerak terus, kadang ke kiri kadang ke kanan, ke
atas, ke bawah begitu seterusnya sampai akhirnya ia tekan kemaluannya di
mulutku. Hidungku ikut menempel di kemaluannya dan membuatku susah
bernafas, dengan masih digoyang-goyangkan sambil mengerang panjang.
“Aahh.. aahh.. aa.. aahh..” tiba-tiba badannya berbalik dan ia menciumku
bertubi-tubi, “Ahh.. enaak Rie.. rasanya seperti melayang..” sambil
terus menciumi mukaku. “Enak sih enak.. aku masih gantung nih..”
Langsung kuangkat tubuhnya ke bibir sofa dan kukangkangkan kakinya.
Kuusap-usap kemaluannya yang masih memerah dan bengkak itu dengan
tanganku. Kucari-cari di mana lubangnya.
Setelah beberapa saat kutekan-tekan, akhirnya kutemukan lubangnya.
Pertama kucoba memasukkan jari kelingkingku, eh.. masuk. Kucoba jari
manisku, masuk juga. Kukeluarkan jari manisku yang basah, kucoba
masukkan batang kemaluan, “Aaahh.. pelan-pelan.. sakit nih..” kata Fei
meringis. Kucoba dorong dengan bantuan tanganku, tapi susah sekali
masuknya sampai kemaluanku meleot-leot. Akhirnya kuminta tangannya
memegangi batang kemaluanku dan tangan satunya melebarkan bibir
kemaluan. Aku menahan pahanya agar tubuhnya tidak mundur-mundur. Mulai
kudorong batang kemaluanku masuk ke lubangnya, Fei masih meringis tapi
aku tidak peduli. Aku harus menembak, kutahan kuat-kuat tubuh Fei dan
kusorongkan tubuhku. “Sreep.. sreep.. bleess..” batang kemaluanku masuk
tak bersisa.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku.
“Agak-agak pedih sih..” ringisnya.
Aku mulai beraksi. Segera kumaju-mundurkan batang kemaluanku di lubang
kewanitaannya. “Aahh.. rasanyaa.. tidak terbayangkan.. it’s my first
time Man!” pikirku. Fei pun beraksi dengan menggoyang-goyangkan
pantatnya, hingga bibir-bibir kemaluannya seperti mengulum-ngulum batang
kemaluanku.
Kuhujam-hujamkan terus batang kemaluanku. Kulihat ekspresi muka Fei yang
belum pernah kulihat sebelumnya dengan mata merem-melek. Bibir seksinya
menganga mengeluarkan desahan-desahan yang semakin membuatku bergairah
dan mempercepat gerakan batang kemaluanku maju mundur. “Aahh.. ahghh..”
aku pun ikut merem-melek. Kupindahkan tanganku dari pahanya dan mulai
meremas-remas payudaranya yang mengeras. Goyangan-goyangan pinggul kami
berkejar-kejaran dengan deru degup jantungku. Suara-suara erangan nikmat
bercampur dengan suara gesekan batang kemaluanku dan liang kemaluan Fei
yang telah banjir, mengaung ke seisi rumah yang sepi itu. Sampai
akhirnya, “Arriee.. aakuu.. nggaak kuu.. kuuat lagii.. aahh.. ahh..
aahh.. aaghh..” Sambil menahan nafasnya, Badan Fei mengejang dengan dada
menukik ke atas dan tangan meremas sofa kulit itu. “Creet.. cret..
creet..” terasa keluar cairan dari dalam lubang kemaluannya. Segera
kugenjot dengan hujaman-hujaman cepat ke lubang kemaluannya.
Aku merasakan batang kemaluanku akan mengeluarkan mani. Segera
kukeluarkan kemaluanku dan disambut dengan kocokan tangan Fei. “Aah..
aahh.. aahh..” aku mengerang keenakan dan.., “Croot.. croot.. croot..”
air mani keluar dari kemaluanku muncrat kemana-mana mengenai sofa dan
lantai sampai tak bersisa lagi. “Aaahh.. enaknya hidup ini”. Kurebahkan
tubuhku ke sofa, kucium bibir Fei dengan lembut, “Thank’s Fei.. I love
you so much”, sambil terus menciumi bibirnya. Segera setelah itu
kubersihkan tubuhku di kamar mandi dan aku melanjutkan pekerjaan Fei
yang terpotong tadi.. mengepel! Fei lelah kecapaian dengan tubuh
ditutupi daster, ia beristirahat di sofa, wajahnya walaupun letih, tapi
menampakkan rasa puas yang luar biasa.
Semenjak itu, setiap hari (kecuali minggu), kami melakukan seks. Setelah
pembantu Fei pulang, beberapa hari sekali kami melakukannya di rumahku
(kalau sedang tidak ada orang) dan di Ancol. Agar air maniku tak tumpah
ke dalam mobil, aku selalu memakai kondom. Masa-masa bahagia kami
berakhir, setelah terdengar isu akan terjadinya kerusuhan pada bulan
Mei. Fei beserta keluarga pamannya, pergi dari Indonesia pulang ke
negeri China, rumahnya di Jakarta dijual. Semenjak itu aku tak pernah
berjumpa lagi dengannya. Aku sangat kehilangan Fei, Fei lah cewek yang
paling kusayang dan kucintai yang telah memberikan kepuasan lahir batin
kepadaku.